Selong, RK Ketika rakyat kecil berjuang mensertifikatkan tanah warisan leluhurnya, angka-angka fantastis justru berputar di meja anggaran Ba...
Selong, RK
Ketika rakyat kecil berjuang mensertifikatkan tanah warisan leluhurnya, angka-angka fantastis justru berputar di meja anggaran Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lombok Timur. Ironinya, di tengah alokasi anggaran miliaran rupiah untuk pengukuran dan pemeriksaan tanah, masyarakat tetap saja dipungut biaya tinggi.
Forum Komunikasi dan Kajian Masyarakat Nusa Tenggara Barat (FKKM NTB) mengendus adanya ketimpangan struktural antara alokasi dana publik dan realitas layanan pertanahan di lapangan. Data yang mereka himpun menunjukkan bahwa pada tahun 2024, BPN Lombok Timur mengelola anggaran pemeriksaan tanah dan pengukuran bidang sebesar lebih dari Rp3,7 miliar, dengan tambahan biaya operasional dan pemeliharaan kantor mencapai hampir Rp1,5 miliar.
Namun, pada tahun 2025, pos serupa kembali muncul dengan nilai lebih dari Rp3,2 miliar.
Pertanyaan pun muncul:
“Jika negara sudah menggelontorkan dana sebesar itu, mengapa rakyat masih harus membayar mahal hanya untuk mendapatkan sertifikat atas tanahnya sendiri?” Fahri Rahman, Ketua Umum FKKM NTB, dengan nada getir dalam rilis yang dikirim ke redaksi, Minggu (27/10).
*Sertifikat Mahal di Tengah Anggaran Gemuk*
Kritik FKKM NTB tidak muncul tanpa dasar. Laporan dari warga di sejumlah kecamatan di Lombok Timur menunjukkan adanya pungutan bervariasi untuk pembuatan sertifikat tanah secara mandiri—di luar program PRONA atau PTSL—yang nominalnya disebut “menguras tabungan rakyat kecil.”
Hearing Panas di Depan Pintu BPN
Selasa (28/10), FKKM NTB melayangkan surat resmi untuk menggelar hearing terbuka dengan jajaran BPN Lombok Timur. Agenda ini bukan basa-basi birokrasi. Forum itu menilai ada ruang gelap dalam transparansi anggaran publik yang mesti dibuka dengan cahaya kritik.
> “Kami tidak sedang mencari sensasi. Kami hanya ingin tahu: berapa biaya riil pembuatan sertifikat tanah tanpa program pemerintah? Dan mengapa rakyat masih harus membayar mahal, padahal negara sudah mengalokasikan miliaran rupiah untuk urusan yang sama,”
— Perwakilan FKKM NTB, dalam keterangan tertulisnya.
FKKM NTB menegaskan bahwa Kepala BPN Lombok Timur, selaku penanggung jawab wajib hadir dalam ruang hearing publik tersebut. Forum menolak jika diskusi hanya diwakilkan oleh pejabat teknis yang tak berwenang memutuskan.
“Ini bukan sekadar soal angka, tetapi tentang logika publik. Bagaimana mungkin lembaga dengan anggaran ratusan juta untuk operasional dan miliaran untuk pengukuran, masih membebankan biaya besar ke masyarakat?” sindir Fahri dalam pernyataannya.
Ia menambahkan, kondisi ini menggambarkan adanya anomali tata kelola publik, di mana anggaran negara tidak lagi berfungsi sebagai alat pelayanan, melainkan menjadi ornamen administratif yang tidak berdampak langsung bagi rakyat.
*Ketertutupan Informasi, Cikal Bakal Korupsi*
FKKM NTB juga menyoroti minimnya keterbukaan informasi publik di lingkungan BPN Lombok Timur. Hingga kini, tidak ada publikasi resmi yang menjelaskan struktur biaya sertifikasi tanah dan komponen penggunaan anggaran pemeriksaan serta pengukuran bidang.
“Ini bukan sekadar soal etik, tapi soal moral birokrasi. Ketertutupan adalah pintu masuk korupsi,” ujar Fahri dengan tegas.
Ia menegaskan, pihaknya telah melayangkan surat hearing resmi kepada Kepala BPN Lombok Timur untuk membuka ruang dialog publik secara objektif dan terbuka.
FKKM NTB menilai, lembaga seperti BPN seharusnya menjadi garda depan reformasi birokrasi, bukan benteng ketertutupan. Ketika rakyat harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk hak legal atas tanahnya sendiri, maka ada yang sangat keliru dalam konsep pelayanan publik yang berkeadilan.
*Tanah Rakyat, Birokrasi Negara*
Birokrasi di negeri ini, kata para akademisi hukum publik, seringkali kehilangan arah: rakyat dijadikan sumber penerimaan, bukan subjek pelayanan. Dalam konteks itu, kritik FKKM NTB mencuat bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk mengingatkan kembali etika dasar aparatur negara: bahwa tanah rakyat bukanlah ladang pemungutan, melainkan hak konstitusional yang harus dijamin oleh negara.
Selama BPN Lombok Timur belum mampu menjawab secara transparan kemana perginya anggaran lebih dari Rp8 miliar dalam dua tahun terakhir, maka publik punya alasan kuat untuk terus bertanya — dan mencurigai.
*Penutup: Di Atas Tanah yang Dipungut*
Ketika rakyat menunggu sertifikat yang tak kunjung rampung, dan petugas di lapangan masih menagih “biaya tambahan”, hanya ada satu kata yang menggambarkan situasi ini: paradoks.Negara seolah hadir dalam anggaran, tetapi absen dalam pelayanan.
FKKM NTB menegaskan, hearing publik akan tetap digelar, karena bagi mereka, menyoal anggaran BPN bukan sekadar urusan administrasi, tetapi pertarungan moral antara rakyat dan birokrasi.***
(Sandi)

COMMENTS