Tulungagung, RK Dinding bisu kini menyelimuti kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Tulun...
Tulungagung, RK
Dinding bisu kini menyelimuti kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Tulungagung. Di tengah gulita informasi ini, borok pengelolaan aset daerah terkuak semakin busuk: puluhan tahun DLH diduga kuat mengoperasikan armada kendaraan "bodong" tanpa surat-surat resmi, sebuah praktik ilegal yang berjalan mulus di bawah hidung para penanggung jawab.
Fakta di lapangan berbicara lebih keras dari bantahan yang tak kunjung datang. Staf DLH sendiri mengonfirmasi setidaknya dua unit—truk tangki AG 8117 RP dan dump truck AG 8115 RP—beroperasi secara ilegal. Truk tangki penyiram taman pajaknya mati sejak 2019 karena diduga hasil modifikasi ilegal tanpa BPKB. Lebih parah, dump truck untuk penebangan pohon telah menjadi "kendaraan hantu" tanpa STNK dan BPKB sejak diterima dari Dinas PUPR pada tahun 2020.
Bahkan, Kepala Bidang Persampahan, Yudha, mengakui adanya kendaraan lain berplat B yang nasibnya sama mengenaskannya: digunakan sejak 2012 dengan pajak mati dan BPKB yang raib entah kemana.
Ironisnya, di tengah praktik ilegal ini, anggaran pemeliharaan kendaraan DLH mengalir deras, disebut mencapai Rp 700 hingga Rp 900 juta per tahun. Sebuah angka fantastis yang menimbulkan pertanyaan menusuk: jika mengurus legalitas dasar kendaraan saja gagal total, untuk apa sebenarnya dana ratusan juta itu dialokasikan?
Saat dimintai pertanggungjawaban, Kepala BPKAD Tulungagung, Galih, memilih cuci tangan. Ia menyatakan bahwa legalitas adalah urusan dinas pengguna. Namun, pernyataan ini justru membuka kotak pandora: Apakah BPKAD sebagai pengelola aset daerah sama sekali tidak memiliki fungsi pengawasan? Apakah aset dibiarkan liar begitu saja tanpa audit dan verifikasi?
Kini, saat skandal ini dikonfirmasi ulang untuk meminta ketegasan sikap, semua pejabat terkait—baik dari DLH maupun BPKAD—memilih bungkam seribu bahasa. Sikap "tutup mulut" ini adalah sebuah penghinaan terhadap transparansi dan akuntabilitas. Ini bukan lagi sekadar kelalaian, melainkan indikasi kuat adanya upaya sistematis untuk menutupi borok yang sudah mengakar.
Bupati Tulungagung kini dihadapkan pada ujian kepemimpinan. Membiarkan bawahannya membisu sama artinya dengan merestui praktik ilegal ini. Publik tidak lagi butuh jawaban normatif, melainkan audit menyeluruh dan sanksi tegas bagi para pejabat yang telah mempermalukan wajah Pemkab Tulungagung.(*Team*)
COMMENTS