Kota Tasikmalaya, Radar Kriminal Berulang kali kritik disuarakan. Berulang kali media memberitakan. Berulang kali publik menuntut transparan...
Kota Tasikmalaya, Radar Kriminal
Berulang kali kritik disuarakan. Berulang kali media memberitakan. Berulang kali publik menuntut transparansi. Namun, Pemkot Tasikmalaya tampaknya memilih jalan yang sama: diam, bungkam, dan seolah tuli terhadap semua desakan.
Berdasarkan hasil konfirmasi kepada RadarKriminal Endra Rusnendar SH selaku Pembina YAYASAN LBH MERAH PUTIH TASIKMALAYA menyampaikan, "Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar di tengah masyarakat: apakah Pemkot Tasikmalaya hari ini hanya kebal terhadap berita, atau sudah melangkah lebih jauh menjadi kebal terhadap hukum itu sendiri?
Kebisuan yang Sistematis ? Fenomena ini bukan peristiwa tunggal, melainkan pola yang terus berulang. Dugaan penyimpangan dalam tata kelola pemerintahan, potensi maladministrasi, hingga laporan publik yang diajukan ke lembaga pengawas kerap tidak berbuah tindak lanjut nyata.
Setiap kali isu muncul, publik menunggu klarifikasi. Tetapi yang muncul justru hening. Pemerintah kota seakan menganggap diam adalah jawaban paling aman, meski di baliknya publik justru semakin kehilangan kepercayaan.
Kritik yang Dipandang Angin Lalu ? Media massa yang seharusnya menjadi mitra pengawas sosial, justru seolah dianggap tak berarti. Puluhan, bahkan ratusan pemberitaan mengenai persoalan di tubuh Pemkot Tasikmalaya, nyaris tak menggoyahkan sikap dingin para pejabatnya.
Dalam praktik demokrasi, kritik adalah vitamin, namun di Tasikmalaya kritik malah diperlakukan seperti gangguan. Pertanyaan publik seakan tidak penting, bahkan hak rakyat untuk tahu tentang penggunaan anggaran publik pun diperlakukan seperti suara sumbang.
Akuntabilitas yang Dipertaruhkan ?Diamnya Pemkot Tasikmalaya tidak hanya soal etika komunikasi publik. Lebih dari itu, kebisuan ini menyentuh aspek hukum dan akuntabilitas. Setiap laporan dugaan pelanggaran yang tidak ditindaklanjuti, setiap pengaduan yang dipetieskan, berarti melemahkan sendi hukum itu sendiri.
Jika pemerintah daerah tak lagi tunduk pada hukum, lalu pada apa mereka tunduk? Jika suara rakyat dianggap angin lalu, lalu siapa yang sesungguhnya mereka layani?
Preseden Buruk Bagi Demokrasi ?
Kondisi “bisu dan tuli” yang seolah-olah dipertontonkan Pemkot Tasikmalaya bisa menjadi preseden berbahaya. Pertama, publik bisa semakin apatis karena merasa percuma berbicara. Kedua, lembaga pengawas bisa kehilangan taringnya jika pemerintah daerah merasa tak tersentuh. Ketiga, hukum kehilangan wibawanya karena dianggap bisa diabaikan tanpa konsekuensi.
Pada titik ini, bahaya paling besar adalah lahirnya budaya kebal hukum di tingkat daerah. Sebuah budaya yang pada akhirnya bisa menular, merusak integritas demokrasi, dan menghancurkan kepercayaan publik terhadap negara.
Pertanyaan yang Tak Bisa Lagi Diabaikan ?
Hari ini, masyarakat Tasikmalaya tidak hanya ingin tahu, tetapi berhak tahu:
Mengapa laporan dugaan pelanggaran tidak kunjung ditindaklanjuti?
Mengapa kritik publik dan pemberitaan media tidak pernah dijawab secara substantif?
Apakah Pemkot Tasikmalaya sedang membangun tradisi bisu dan tuli, atau tengah melatih diri untuk kebal hukum?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tidak boleh lagi ditunda. Sebab setiap hari yang dibiarkan berlalu tanpa jawaban, adalah setiap hari yang menegaskan bahwa hukum dan demokrasi sedang dikangkangi oleh kebisuan.
Mau seribu kali diberitakan, mau seribu kali dikritik, diduga Pemkot Tasikmalaya tampaknya memilih satu sikap: bisu dan tuli. Tetapi masyarakat tentu tak akan berhenti bertanya: apakah pemerintah daerah ini hanya kebal berita, atau justru kebal hukum?
- Endra R
COMMENTS