Belitung, radarkriminal.com Proyek ambisius pembangunan jembatan penghubung antara Desa Dukong dan Desa Seberang, Kabupaten Belitung, teran...
Belitung, radarkriminal.com
Proyek ambisius pembangunan jembatan penghubung antara Desa Dukong dan Desa Seberang, Kabupaten Belitung, terancam mencoreng kredibilitas pemerintah daerah. Di balik megahnya angka anggaran yang menyentuh Rp89 miliar dari APBN, terselip aroma busuk yang menyengat: pembebasan lahan yang diduga penuh kejanggalan dan manipulasi.
Sebelum proyek konstruksi berjalan, Pemerintah Kabupaten Belitung telah mengucurkan dana Rp4,9 miliar khusus untuk pembebasan lahan warga terdampak. Namun, prosesnya kini dipertanyakan publik. Pasalnya, hingga kini masih terdapat lahan milik warga yang belum dibayar, meskipun pembangunan sudah berlangsung. Ironis dan menyakitkan bagi rakyat kecil.
Sekda Belitung, Marzuki, bersama Kepala Dinas PUPR Edi Ustianto, saat dikonfirmasi hanya mampu menjawab normatif. Mereka menyebut lahan yang dibebaskan terdiri dari empat sertifikat hak milik (SHM) dan delapan surat keterangan tanah (SKT). Namun, saat ditanya soal status jalan aspal lama di lokasi, keduanya justru terkesan "cuci tangan".
“Kami tidak tahu itu jalan milik siapa, dan masuk ke dalam aset siapa,” ujar Marzuki datar, tanpa menunjukkan itikad untuk menelusuri lebih lanjut.
Pernyataan itu memicu kecurigaan publik. Bagaimana mungkin proyek sebesar itu bisa dijalankan tanpa kejelasan aset dan legalitas lahan secara menyeluruh? Hal ini membuka dugaan adanya kelalaian, atau bahkan indikasi permainan dalam pembebasan lahan yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Subandi, salah satu warga Desa Dukong, mengaku hanya menerima pembayaran untuk tiga dari empat bidang tanah miliknya. Uang senilai Rp1,1 miliar sudah diterimanya, namun satu lahan lain yang ia klaim sah secara pengakuan, hingga kini belum dibayar sepeser pun. Ia bahkan sudah membuat surat pengakuan atas permintaan Pemkab, namun hasilnya nihil.
“Saya sudah buat surat pengakuan seperti yang diminta. Tapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjut. Tidak dibayar,” tegas Subandi penuh kecewa.
Lebih mengejutkan, Subandi juga membongkar fakta lain yang selama ini ditutup-tutupi: jalan aspal lama yang ada di lokasi ternyata merupakan aset PT Timah, BUMN tambang ternama. Artinya, proyek ini tidak hanya menabrak hak warga, tapi juga berpotensi merusak aset negara.
“Jalan aspal itu dulu dibangun PT Timah. Masuk aset mereka,” katanya lantang.
Jika benar proyek jembatan ini melintasi atau bahkan merusak aset milik PT Timah tanpa izin atau kompensasi, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai pengerusakan aset negara. Dugaan pelanggaran hukum pun semakin kuat dan seharusnya menjadi perhatian aparat penegak hukum.
Proyek yang katanya membangun konektivitas, kini justru membongkar potret carut-marut perencanaan pemerintah daerah. Warga belum semua dibayar, aset negara diduga diserobot, dan pejabat terkesan bungkam. Ini bukan pembangunan, ini potensi perampasan yang dibungkus proyek negara.
Hingga berita ini diturunkan, pihak media masih berupaya menghubungi Pemerintah Kabupaten Belitung dan manajemen PT Timah. Namun belum ada pernyataan resmi yang diberikan. Sementara itu, kekecewaan warga seperti Subandi terus membesar, seiring dengan terus berjalannya proyek di atas tanah yang belum tuntas secara hukum.
(Lendra Gunawan)

COMMENTS