NTB, RK Forum Komunikasi dan Kajian Masyarakat Nusa Tenggara Barat (FKKM NTB) tampaknya benar-benar memahami adagium klasik dalam politik an...
NTB, RK
Forum Komunikasi dan Kajian Masyarakat Nusa Tenggara Barat (FKKM NTB) tampaknya benar-benar memahami adagium klasik dalam politik anggaran: “Ketika kebenaran datang, sebagian pejabat memilih pensiun lebih cepat.”
Pada 16 Oktober 2025, FKKM NTB kembali melayangkan surat resmi kedua kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Lombok Timur. Surat tersebut berisi pemberitahuan hearing publik yang dijadwalkan berlangsung pada Senin, 20 Oktober 2025. Namun, sebelum kursi dialog sempat dipanaskan oleh pertanyaan publik, sang Kepala Dinas Dikbud, Izuddin, dikabarkan lebih dulu menyingkir — dengan alasan yang “amat manusiawi”: mendekati masa pensiun.
Sebuah alasan yang klasik, bahkan nyaris usang. Dalam tradisi birokrasi kita, “mendekati pensiun” kerap dijadikan pelindung moral paling nyaman bagi mereka yang ingin hengkang tanpa meninggalkan jejak tanggung jawab. Seolah-olah kepergian itu adalah bagian dari ritus administrasi, padahal publik mencium aroma pelarian dari ruang pertanggungjawaban.
FKKM NTB, yang sejak awal mencermati tata kelola anggaran di Dikbud Lotim, menilai pengunduran diri ini bukan sekadar persoalan usia. “Bisa jadi karena banyaknya kasus korupsi yang sedang diperiksa Kejari Lotim,” ujar aktivis FKKM NTB, Herianto Wijaya RH, SH, kepada media.
Menurut Herianto, langkah Izuddin meninggalkan jabatan di tengah gempuran isu anggaran yang tidak jelas arahnya, justru menambah daftar panjang dugaan ketidakberesan di tubuh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Timur. Ia menegaskan, FKKM NTB akan tetap menggelar hearing lanjutan meskipun kepala dinas mundur.
> “Terlalu banyak anggaran yang tidak jelas ke mana arahnya, terutama tahun anggaran 2023 dan 2024. Jika dalam hearing nanti kami tidak diberikan penjelasan berbasis data, kami akan melaporkan temuan tersebut ke BPKP dan aparat penegak hukum,” tegas Herianto.
Publik tentu berhak bertanya: bagaimana mungkin sebuah dinas dengan mandat sebesar pendidikan—pilar utama pembangunan manusia—bisa dikelola tanpa transparansi dan akuntabilitas yang memadai?
Dalam pandangan akademik, ini bukan sekadar soal teknis anggaran. Ini adalah gejala dari penyakit birokrasi kronis yang disebut accountability avoidance syndrome — sindrom menghindar dari tanggung jawab ketika tekanan publik meningkat.
Pengunduran diri Izuddin, dalam konteks itu, tampak bukan kebetulan. Ia adalah bagian dari koreografi klasik birokrasi daerah: ketika badai kritik datang, satu-satunya strategi bertahan adalah mundur dengan elegan, sebelum panggilan penyidik datang mengetuk pintu.
Di balik meja kosong yang ditinggalkannya, masih tertinggal tumpukan dokumen, laporan kegiatan, dan tanda tanya besar: ke mana arah ratusan miliar rupiah anggaran pendidikan Lombok Timur selama empat tahun terakhir?
Jika pendidikan adalah cermin moral bangsa, maka kabut yang menyelimuti Dikbud Lotim hari ini adalah refleksi dari bagaimana integritas publik dikorbankan di altar kenyamanan birokrasi.
Dan seperti biasa, publik hanya bisa menyaksikan dari jauh — sementara surat hearing FKKM melayang, kepala dinas menghilang, dan kebenaran kembali menunggu giliran untuk dipanggil bicara.***
Seyusandi

COMMENTS